Phobia Dental
Fobia Gigi Mempengaruhi Rendahanya Tingkat Kesadaran
Masyarakat Akan Pentingnya Perawatan Kesehatan Gigi Dan Mulut Primer
Oleh :
Nur Siti Fatimah
(P07125216110)
Sarjana Terapan Keperawatan Gigi
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Menurut laporan
berita dari Edinburg, Texas, oleh wartawan NewsRx, penelitian menyatakan,
"Kecemasan gigi dan fobia gigi biasanya muncul selama masa kanak-kanak;
penghindaran perawatan gigi yang terkait dapat menyebabkan masalah kesehatan
mulut dan dikaitkan dengan kualitas hidup yang lebih rendah. (English, 2017)
Provokasi kecemasan dengan perawatan
gigi adalah fenomena universal. Hal ini dapat disebut sebagai fobia gigi,
kecemasan gigi, odontofobia, dll. Pasien yang menderita kecemasan gigi adalah
populasi yang penting bagi kesehatan masyarakat karena masalah kesehatan gigi
yang luas yang disebabkan oleh perawatan gigi, keterlambatan dalam mencari perawatan
gigi atau bahkan kehadiran gigi yang tidak teratur. sebagai akibat dari
ketakutan dan perilaku kesehatan gigi yang kurang optimal yang sangat lazim
dalam kelompok ini. Pengetahuan yang mendalam dalam bidang ini tidak hanya
akan membantu dokter gigi untuk memahami pasien mereka tetapi juga memotivasi
dan merencanakan perawatan yang lebih baik untuk mereka (Journal
& Medicine, 2011)
Paradigma provokasi gejala yang mencakup rangsangan visual
dan pendengaran. Suara bor dan nada sinus netral yang cocok berfungsi
sebagai rangsangan pendengaran dan adegan dokter gigi dan mencocokkan video
netral sebagai rangsangan visual. Hasil saat ini sebagian besar
sebanding dengan area otak yang diidentifikasi dalam fobia hewan, tetapi juga
mengarah pada potensi penurunan regulasi aliran keluar otonom oleh sirkuit
ketakutan saraf pada gangguan ini. Stimulasi pendengaran tampaknya menjadi
pemicu yang lebih kuat dari pemrosesan ancaman subsistem jaringan syaraf pada
fobia gigi, meskipun kecemasan subjektif ditimbulkan selama provokasi gejala visual
dan auditori. (Hilbert,
Evens, Maslowski, Wittchen, & Lueken, 2014)
Saat
ini kesadaran masyarakat akan kesehatan gigi dan mulut masih rendah dan
cenderung melakukan perawatan pada dokter gigi hanya pada saat ada keluhan,
sehingga rata - rata masyarakat berkunjung ke dokter gigi dalam keadaan sudah
memerlukan perawatan kompleks dan yang berdampak pada biaya yang ebih tinggi.
Keadaan ini menunjukkan bahwa effective demand untuk berobat gigi di Indonesia
menjadi rendah, yaitu menurut riskesdas tahun 2007 hanya 7% sedangkan menurut
data riskedas tahun 2013 menunjukkan bahwa sebesar 25,9% penduduk Indonesia
mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). (Dewanto, 2014)
Munculnya masalah Gigi dan status kesehatan
mulut dinyatakan dalam karies gigi dan periodontal penyakit prevelance, yang
umumnya disebabkan oleh kebersihan mulut yang buruk, yaitu akumulasi plak yang
mengandung berbagai bakteri. Fakta di bidang menunjukkan bahwa ada banyak
penyakit gigi dan mulut dalam kondisi maju, sehingga tidak mungkin dalam
perawatan endodontik (Rahardjo A., 2006). Itu adalah hasil dari kurangnya
kesadaran masyarakat dan pengetahuan tentang pentingnya kesehatan gigi dan
mulut, biaya perawatan gigi tinggi, dan sikap pasif dari dokter gigi yang
disampaikan hanya pengobatan kuratif. (Tjahja &
Ghani, 2010)
Hasil penelitian
status kesehatan mulut di kalangan anak-anak sekolah di Kosovo menunjukkan
bahwa ada prevalensi tinggi karies antara anak sekolah berusia 6-11 tahun,
sehingga menunjuk ke kebutuhan untuk program ekstensif perawatan kesehatan
mulut primer serta memanfaatkan langkah-langkah pencegahan dan kunjungan ke dokter
gigi secara teratur dan mayoritas dari mereka mengunjungi dokter gigi mereka
hanya bila diperlukan, sehingga menunjuk ke kebutuhan untuk program ekstensif
perawatan kesehatan mulut primer serta memanfaatkan langkah-langkah pencegahan
dan kunjungan ke dokter gigi secara teratur. (Ferizi, Dragidella, Staka, Bimbashi, & Mrasori,
2017)
Semakin
baik persepsi dan semakin kuat motivasi terhadap pemeliharaan kebersihan gigi
dan mulut, maka semakin baik perilaku anak dalam pemeliharaan kebersihan gigi
dan mulut. Sikap terhadap pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut tidak
memberikan pengaruh terhadap perilaku anak dalam pemeliharaan kebersihan gigi
dan mulut. Motivasi terhadap pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut memberikan
kontribusi pengaruh paling besar terhadap perilaku anak dalam pemeliharaan
kebersihan gigi dan mulut. (Pay, Widiati, & Sriyono, 2017)
Oleh
sebab itu Pendidikan kesehatan gigi akan lebih efektif dimulai dari lingkungan
keluarga dengan cara mengajarkan kepada ibu tentang pentingnya pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut. Keberhasilan pendidikan kesehatan gigi sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan ibu sebagai penggerak pendidikan kesehatan. Hasil Riskesdas tahun
2007 dan hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Nusa
Tenggara Timur berumur 10 tahun ke atas memiliki perilaku yang rendah dalam hal
menyikat gigi yang benar yaitu sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami cara menyikat gigi yang benar.
Pendidikan kesehatan gigi dengan metode ceramah disertai hands on lebih
meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu tentang kebersihan gigi dan mulut
dibanding metode ceramah disertai diskusi kelompok. (Wali, Widiati, & Sriyono, 2017)
Sedangkan perawatan gigi
dan mulut untuk orang dewasa tergantung pada setiap pasien inisiatif dalam
memanfaatkan perawatan gigipemanfaatan terbatas, dan gigi sering dibiarkan
tidak diolah atau diekstraksi. Meskipun dokter gigi merekomendasikan kunjungan
rutin ke dokter gigi, banyak orang gagal mematuhi ini karena beberapa hambatan
yang ada untuk pemanfaatan layanan gigi. Hambatan untuk mencari layanan
gigi telah diklasifikasikan oleh FDI sebagaimana terkait dengan berikut: individu
itu sendiri (seperti itu karena kurangnya kebutuhan yang dirasakan,
kecemasan atau ketakutan, pertimbangan keuangan, dan kurangnya akses), profesi dokter gigi (tidak pantas sumber
daya tenaga kerja, geografis tidak merata distribusi, pelatihan yang tidak pantas
untuk mengubah kebutuhan dan permintaan dan tidak cukup sensitivitas terhadap
sikap pasien dan kebutuhan), dan masyarakat
(tidak mencukupi dukungan publik terhadap sikap yang kondusif kesehatan,
fasilitas kesehatan yang tidak memadai). (Anne, Manne, Anne, & Krishna, 2017)
Tips
mengatasi rasa takut dokter gigi: Identifikasi dari mana rasa takut
Anda berasal. Minta dokter spesialis untuk menjelaskan prosedur yang akan Anda
lakukan. Anda dapat menyetujui untuk membuat sinyal, seperti mengangkat
tangan, untuk menghentikan beberapa saat untuk mengendalikan kecemasan
Anda. Pilih momen untuk janji Anda di mana Anda tidak stres karena alasan
lain. Jika Anda merasa tegang ketika duduk di kursi spesialis, cobalah
teknik relaksasi seperti bernafas secara berirama atau memvisualisasikan adegan
santai. Anda juga bisa terganggu oleh musik ambient atau berkonsentrasi
pada beberapa objek di ruangan. Setelah kunjungan selesai, beri selamat
kepada diri sendiri atas keberanian Anda dan berikan diri Anda hadiah. Ingat
bahwa para profesional yang merawat Anda adalah sekutu Anda. Gunakan
bantuan Anda untuk menghadapi dan mengatasi ketakutan Anda dan jangan malu
membicarakannya dengannya. Ajukan pertanyaan apa pun yang Anda miliki. (Grado et al.,
n.d.)
Kesimpulan yang bisa diambil adalah Kecemasan dan fobia gigi
dapat berdampak buruk pada kualitas hidup seseorang, dan karenanya sangat
penting untuk mengidentifikasi dan meringankan hambatan-hambatan untuk membuka
jalan bagi kesehatan mulut yang lebih baik dan kesejahteraan individu secara
keseluruhan. Ini adalah tugas dan tanggung jawab dokter gigi untuk
memberikan perawatan gigi yang sangat baik kepada pasien-pasien ini dengan
kebutuhan khusus juga. Dokter gigi harus berkomunikasi dengan pasien dan
mengidentifikasi sumber ketakutan dan kecemasan mereka, memungkinkan
kategorisasi sebagai ringan, sedang, atau kecemasan ekstrim atau
gigi-fobia. Semua perawatan yang sukses akan bergantung pada kerja sama
dokter gigi-pasien, dan dengan demikian pasien yang rileks jelas akan
menghasilkan suasana yang kurang menegangkan bagi tim gigi dan hasil pengobatan
yang lebih baik. Pasien-pasien
ini perlu diidentifikasi pada kesempatan paling awal dan kekhawatiran mereka
ditangani. Interaksi awal antara dokter gigi dan pasien dapat
mengungkapkan adanya kecemasan, ketakutan, dan fobia. Secara farmakologis,
pasien-pasien ini dapat dikelola menggunakan obat penenang atau anestesi
umum. (Appukuttan,
2016)
DAFTAR PUSTAKA:
Anne, G.,
Manne, P., Anne, R., & Krishna, G. P. (2017). Comparative Evaluation of
Flexural Strength of Conventional and Reinforced Heat Cure Acrylic Resins : An
In vitro Study. Journal of Dental Research and Review |, 4(1), 9–12.
https://doi.org/10.4103/jdrr.jdrr
Appukuttan, D. P. (2016). Strategies to
manage patients with dental anxiety and dental phobia: Literature review. Clinical,
Cosmetic and Investigational Dentistry, 8, 35–50.
https://doi.org/10.2147/CCIDE.S63626
Dewanto, I. (2014). Penetapan Dokter Gigi
Layanan Primer Di Indonesia. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia, 21(2)(desember),
109–116. Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=409588&val=7843&title=Penetapan
Dokter Gigi Layanan Primer di Indonesia
English, A. (2017). Dentistry ; New
Dentistry Study Findings Have Been Reported by L . D . Seligman and Colleagues
( Dental anxiety : An understudied problem in youth ), (July), 2017–2018.
Ferizi, L., Dragidella, F., Staka, G.,
Bimbashi, V., & Mrasori, S. (2017). Oral Health Status Related to Social
Behaviors among 6 - 11 Year Old Schoolchildren in Kosovo. Acta Stomatologica
Croatica, 51(2), 122–132. https://doi.org/10.15644/asc51/2/5
Grado, S., Integral, G., Finlay, C. J.,
Oeste, C. C., Grado, P., & Finlay, C. J. (n.d.). No Title, (1).
Hilbert, K., Evens, R., Maslowski, N. I.,
Wittchen, H. U., & Lueken, U. (2014). Fear processing in dental phobia
during crossmodal symptom provocation: An fMRI study. BioMed Research
International, 2014. https://doi.org/10.1155/2014/196353
Journal, G., & Medicine, O. F. (2011).
Psychology in dentistry — “ A n emerging field of dentistry in India ,” 2011–2014.
Pay, M. N., Widiati, S., & Sriyono, N.
W. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak dalam Pemeliharaan
Kebersihan Gigi dan Mulut. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia, 2(1),
27. https://doi.org/10.22146/majkedgiind.9900
Tjahja, I., & Ghani, L. (2010). Status
Kebersihan Gigi dan Mulut Ditinjau dari Faktor Individu Pengunjung Puskesmas
DKI Jakarta Tahun 2007. Buletin Penelitian Kesehatan, 38(2), 52–66.
Wali, A., Widiati, S., & Sriyono, N. W.
(2017). Perbedaan Pendidikan Kesehatan Gigi antara Metode Ceramah Disertai
Diskusi Kelompok dan Ceramah Disertai Hands On dalam Meningkatkan Pengetahuan
dan Sikap Ibu Tentang Kebersihan Gigi dan Mulut. Majalah Kedokteran Gigi
Indonesia, 2(1), 20. https://doi.org/10.22146/majkedgiind.10738
Komentar
Posting Komentar